(Meluruskan Sejarah Pengangkatan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu Pasca Wafat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam)

Oleh: Fariq Gasim Anuz

Setelah berita wafat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah pasti kebenarannya, kaum Anshar kaum yang Allah puji mereka dalam Al Quran dan kaum yang dipuji oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,

آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنصَارِ

 “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar”. (HR. Bukhari), 

Mereka sangat membutuhkan seorang pemimpin yang akan mengatur berbagai urusan masyarakat di Madinah. Meskipun mereka masih dalam keadaan berkabung dan berduka cita atas kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Kesedihan dan kesabaran mereka tidak menghalangi mereka untuk beramal shalih dan melakukan hal yang penting yaitu memilih pemimpin bagi kaum muslimin. Sebab jika tidak ada pemimpin maka Madinah akan menjadi kacau. Kota Madinah berada dalam ancaman orang-orang kafir dan munafik yang mengintai setiap saat dan siap untuk menyerang mereka.

Kaum Anshar baik dari suku Aus maupun dari suku Khazraj mereka semua berkumpul di *Saqifah Bani Sa’idah, tempat mereka selalu bermusyawarah untuk membicarakan hal-hal yang penting.* Saqifah Bani Saidah ini berada dekat rumah tokoh mereka Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu. Mereka berkumpul untuk melakukan musyawarah di antara mereka guna membicarakan siapa yang akan menjadi pemimpin kaum muslimin.

*Mengapa Kaum Anshar Tidak Menyertakan Kaum Muhajirin dalam Musyawarah yang Penting ini?*

Kaum Anshar berkumpul untuk memilih pemimpin kaum muslimin untuk kepentingan umat Islam dan bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Jika kita yakin bahwa kaum Anshar adalah kaum yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, jika kita yakin bahwa orientasi hidup mereka adalah akhirat, maka haram bagi kita untuk bersangka buruk terhadap para sahabat Anshar dan sahabat Muhajirin. 

Kami bersangka baik kepada kaum Anshar dalam pertimbangan mereka untuk tidak menyertakan Muhajirin.

Kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah, sedangkan kaum Muhajirin adalah kaum pendatang. Mungkin kaum Anshar berpendapat bahwa yang lebih berhak memimpin suatu wilayah adalah dari penduduk asli bukan pendatang.

Kaum Anshar juga mungkin berpendapat bahwa kaum Muhajirin akan pulang ke kampung halaman mereka setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat.

Kaum Anshar bisa jadi merasa lebih mengetahui keadaan wilayah mereka, adat istiadat penduduknya sehingga lebih layak untuk menjadi pemimpin.

Kaum Anshar juga merasa jumlah mereka jauh lebih banyak dibandingkan kaum Muhajirin. Saat perang Badar jumlah pasukan kaum Muslimin dari kaum Anshar 231 orang sedangkan dari kaum Muhajirin 82 atau 83 orang saja. Belum lagi jasa kaum Anshar yang sangat besar dalam perjuangan Islam dan jasa mereka yang sangat besar dalam melindungi dan menolong kaum Muhajirin. Dan mungkin ada sebab-sebab lainnya.

Yang jelas tidak diragukan lagi keikhlasan kaum Anshar yang dipuji oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, 

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang-orang yang berhijrah ke tempat mereka, dan mereka (kaum Anshar) tidak menaruh keinginan (tidak hasad) di dalam hati mereka terhadap apapun yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin); dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Surat Al Hasyr 9) 

Kaum Anshar juga tidak memberitahukan kepada kaum Muhajirin pertemuan mereka ini bisa jadi karena kaum Anshar berpendapat bahwa kaum Muhajirin sedang sibuk di rumah duka dan mengurus proses pemakaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Apalagi kaum Anshar berpendapat bahwa dari merekalah yang berhak untuk menjadi khalifah sehingga setelah selesai pemilihan khalifah barulah mereka akan memberitahukan kaum Muhajirin. Yang jelas situasi saat itu bercampur antara kesedihan yang mendalam ditinggal kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan ketegangan akan datang serangan musuh dari luar Madinah serta kebutuhan yang mendesak untuk segera memilih pengganti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemimpin kaum Muslimin.

Umar diberitahu oleh seseorang tentang pertemuan di Saqifah Bani Saidah, maka beliau segera memberi tahu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mereka berdua berangkat ke sana. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu dengan dua orang Anshar yang mengikrarkan *Bai’at Aqabah Kedua* kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebelum kaum Muhajirin hijrah ke Madinah. Uwain bin Sa’idah dan Ma’n bin Adi radhiallahu anhuma, ketika melihat Abu Bakar dan Umar berjalan menuju Saqifah maka keduanya melarang Abu Bakar dan Umar menemui kaum Anshar. Mereka berdua khawatir kalau-kalau terjadi perselisihan yang hebat antara kaum Anshar dan Muhajirin. Abu Bakar dan Umar tetap bersikeras untuk menemui kaum Anshar di Saqifah. Dalam perjalanan. Abu Bakar dan Umar bertemu Abu Ubaidah Ibnul Jarrah salah seorang tokoh Muhajirin, diajaknya pula Abu Ubaidah untuk menemui kaum Anshar di Saqifah bani Saidah.

Sebelum mereka bertiga tiba di Saqifah, kaum Anshar baik dari suku Aus maupun Khazraj sepakat mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah. Sebelum mereka masuk Islam, suku Aus dan suku Khazraj adalah musuh bebuyutan. Sering terjadi perang dan pertumpahan darah di antara mereka. Dengan Islam. mereka bersaudara dan saling mencintai dan menyayangi serta bersikap lemah lembut. 

Sa’ad bin Ubadah adalah pemimpin suku Anshar dari suku Khazraj. Dia adalah salah satu naqib (pemimpin) ketika dia berjanji setia kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam Bai’at Aqabah Kedua. Beliau juga mengikuti semua peperangan bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sangat menghormatinya dan sering berkunjung ke rumahnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga pernah berdoa agar Allah memberikan barakah dan rahmat-Nya kepada keluarga Sa’ad. 

Sa’ad bin Ubadah adalah orang yang sangat dermawan. Jika Anshar yang lain suka mengundang satu, dua atau lima orang _Ahli Shuffah_ untuk makan di rumahnya maka Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu mengajak delapan puluh orang untuk makan di rumahnya.

Kembali kita ke Saqifah Bani Saidah, Sa’ad bin Ubadah saat itu sakit. Beliau duduk di kursi dan mengenakan mantel. Beliau akan menyampaikan pidatonya di hadapan kaum Anshar (saat itu Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah belum datang). Karena tidak sanggup berbicara dengan suara keras, ia minta kepada anaknya, Qeis bin Sa’ad, supaya meneruskan kata-katanya yang ditujukan kepada semua hadirin. Beliau memulai dengan memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Kemudian dengan suara lantang Qays meneruskan kata- kata ayahnya, “Wahai kaum Anshar! Kalian termasuk orang yang paling dini memeluk agama Islam, dan kalian memiliki keutamaan dalam Islam yang tidak dimiliki oleh qabilah Arab lainnya. Sesungguhnya ketika masih berada di Makkah, selama 13 tahun di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajak mereka supaya menyembah Allah Yang Mahapemurah dan meninggalkan berhala-berhala. Tetapi hanya sedikit saja dari mereka itu yang beriman kepada beliau. Demi Allah mereka tidak sanggup melindungi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, mereka tidak mampu memperkokoh agama Allah, tidak mampu membela beliau dari serangan musuh -musuhnya. Kemudian Allah melimpahkan keutamaan yang terbaik kepada kalian dan mengaruniakan kemuliaan kepada kalian, serta mengistimewakan kalian pada agama- Nya. Allah telah melimpahkan nikmat kepada kalian berupa iman kepada-Nya, dan kesanggupan berjuang melawan musuh-musuh-Nya. Kalian adalah orang-orang yang paling teguh dalam menghadapi siapa pun juga yang menentang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Kalian juga merupakan orang-orang yang lebih ditakuti oleh musuh-musuh beliau, sampai akhirnya mereka tunduk kepada aturan Allah, suka ataupun tidak suka.Dan orang- orang yang jauh pun akhirnya bersedia tunduk kepada pimpinan Islam, sampai tiba saatnya Allah menepati janji-Nya kepada Nabi kalian, yaitu tunduknya semua orang Arab di bawah pedang kalian. Kemudian Allah memanggil pulang Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam keharibaan-Nya dalam keadaan beliau puas dan ridha terhadap kalian. Karena itu pegang teguhlah kepemimpinan di tangan kalian. Kalian adalah orang-orang yang paling berhak dan paling _afdhal_ untuk memegang urusan itu!”

Setelah selesai khutbah singkat dari Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu, masuklah Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah radhiallahu anhum ke majelis di Saqifah Bani Saidah. Kaum Anshar tidak menyangka akan kedatangan tiga tokoh utama dari kaum Muhajirin.

Umar radhiallahu anhu menceritakan, “Kami terus bertolak sampai akhirnya tiba di tengah-tengah mereka, tepatnya di Saqifah Bani Sa’idah. Ternyata mereka semua telah berkumpul. Di hadapan mereka ada seorang laki-laki berselimut. Maka aku pun bertanya, “Siapakah ini!’ Orang orang menjawab, ‘Sa’ad ibn Ubadah. Aku kembali berkata, ‘Ada apa dengannya?’ Mereka kembali menjawab. ‘Dia tengah menderita sakit.

Ketika kami duduk, tiba-tiba salah seorang tokoh kaum Anshar berdiri sambil melafazhkan kalimat pujian kepada Allah Azza wa Jalla sebagai Dzat yang memang layak untuk menerima segala bentuk pujian. Dia juga berkata, ‘Amma ba’du, kita semua adalah para penolong Allah sekaligus juga sebagai pasukan berkuda agama Islam. Sedangkan kalian-wahai orang-orang Muhajirin hanyalah sekelompok kecil dibandingkan kami. Sesungguhnya ada sekelompok kecil dari kalian yang hendak mengenyampingkan peranan kami di negeri kami dan menjauhkan kami dari sebuah urusan yang besar.”

Umar berkata, “Ketika orang itu berhenti bicara, maka aku hendak berbicara. Sungguh aku telah mempersiapkan sebuah kalimat yang menurutku sangat bagus untuk diutarakan. Aku hendak mengutarakannya sebelum Abu Bakar berbicara. Ternyata Abu Bakar berkata kepadaku, Jangan bicara dulu!’ Beliau yang akan berbicara terlebih dahulu. Tentu saja aku tidak ingin membuatnya marah. Bagaimana pun juga, Abu Bakar adalah orang yang lebih sabar dan lebih berwibawa dibandingkan aku. Demi Allah, ternyata Abu Bakar tidak meninggalkan konsep kalimat yang sudah aku persiapkan dibenakku. Beliau telah menyampaikan semua ideku di hadapan orang- orang bahkan lebih sempurna dan lebih baik lagi.”

Abu Bakar berpidato untuk menyampaikan pendirian kaum Muhajirin dengan lemah lembut dan argumen yang kuat dan bijak. Inti pidatonya adalah menyampaikan keutamaan kaum Anshar yang memiliki kemuliaan dalam Islam, karena tidak ada yang dapat menandingi keutamaan mereka dalam membantu dan menolong kaum Muhajirin yang berhijrah untuk mempertahankan Islam. Ini menunjukkan sikap hikmah Abu Bakar radhiallahu anhu dimana beliau tidak langsung menyampaikan hak kekhalifahan berada di tangan kaum Muhajirin tapi dengan memuji keutamaan kaum Anshar. Kaum Anshar menjadi tenang dan lapang dada sehingga lebih siap untuk mendengar dan menerima penejelasan berikutnya.

Lalu Abu Bakar radhiallahu anhu juga memuji kaum Muhajirin sebagai orang-orang yang mula-mula beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya, membela beliau dan mengalami penderitaan dalam memperjuangkan Islam bersamanya. Beliau juga menyebutkan bahwa pemimpin itu dari Quraisy karena Quraisy adalah pusat dan rujukan bangsa Arab dan orang-orang Arab tidak akan menerima pemimpin selain dari Quraisy. Abu Bakar menjelaskan kepada kaum Anshar bahwa hak kekhalifahan dari Quraisy berdasarkan nash hadits dan juga berdasarkan logika bahwa orang-orang Arab tidak akan menerima pemimpin jika bukan dari Quraisy. Sungguh indah ucapan beliau tidak ada di dalamnya merendahkan kaum Anshar. Abu Bakar berusaha meyakinkan bahwa kepemimpinan dari Quraisy untuk kemaslahatan dan persatuan umat Islam secara keseluruhan.

Kemudian Abu Bakar radhiallahu anhu mengajak kaum Anshar untuk membaiat salah satu dari dua orang yaitu Umar atau Abu Ubaidah untuk menjadi Khalifah sambil beliau menggandeng kedua tangan Umar dan Abu Ubaidah. Di sini juga jelas bahwa Abu Bakar radhiallahu anhu sama sekali tidak berambisi untuk menjadi Khalifah. 

Setelah menjadi Khalifah beliau pernah berkata bahwa beliau sama sekali tidak pernah bermimpi atau juga tidak pernah berdoa untuk memohon menjadi pemimpin umat Islam bahkan beliau tidak menginginkannya karena hal tersebut merupakan amanat yang berat. Beliau berpidato di Saqifah Bani Saidah semata-mata untuk kemaslahatan umat.

Umar menjawab,” “Tidak! Akan tetapi kamilah yang akan membaiatmu, karena engkau adalah pemimpin kami, sebaik-baik orang di antara kami, dan engkau lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Umar bin Khathab juga berkata kepada hadirin, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat ketika beliau sakit? Maka siapakah di antara kalian yang berani mendahului Abu Bakar?” Mereka menjawab, ‘Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan yang mendahului Abu Bakar.’ Umar juga mengomentari peristiwa ketika diusulkan Abu Bakar untuk menjadi Khalifah, “Saya setuju dengan semua isi pidato Abu Bakar kecuali usulnya mengangkat saya sebagai Khalifah, saya tidak menyukai usulan itu. Demi Allah, lebih baik leher saya dipenggal bukan lantaran maksiat, itu lebih saya sukai daripada saya memimpin suatu kaum dimana dalam kaum tersebut terdapat Abu Bakar”. Subhanallah! Generasi yang unik dan istimewa. Mereka tidak berambisi dengan dunia, orientasi mereka adalah akhirat.

Habbab bin Mundzir radhiallahu anhu sahabat utama dan tokoh Anshar menimpali, “Saya tempat orang bermusyawarah dan menjadi rujukan punya usul, kalau begitu kita pilih dua pemimpin, dari kami (Anshar) pemimpin dari kalian (Muhajirin) pemimpin!”. Dalam riwayat Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari ada tambahan ucapan Habbab, “Demi Allah, bukan maksud kami menyaingi kalian dalam masalah kepemimpinan ini, tapi kami khawatir akan adanya pembalasan dari suatu kaum yang mana orang tua mereka dan saudara-saudara mereka telah kami bunuh!”. Rupanya Habbab bin Mundzir radhiyallahu anhu belum mengetahui hadits tentang larangan mengangkat dua orang khalifah.

Umar langsung menukas, “Tidak dibenarkan dua bilah pedang dalam satu sarung (pedang)!” 

Salah seorang juru bicara dari Anshar pula mengusulkan, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jika menugaskan sesorang dari kalian (Muhajirin) selalu menyertakan wakilnya seorang dari kami (Anshar).” Mungkin maksudnya wakil dari Anshar sebagai putera mahkota yang jika Khalifah berhalangan atau meninggal maka otomatis dia yang akan menggantikan khalifah. Usulan ini juga langsung dibantah oleh Umar. Umar berkata, “Mustahil, demi Allah, orang- orang Arab akan menolak menjadikan pemimpin dari kalian padahal Nabi nya bukan dari kalian. Orang-orang Arab tidak akan menolak jika pemimpin mereka dari suku Nabi mereka. Kami lah yang lebih berhak dari lainnya.” Kemudian Umar melanjutkan, “Barangsiapa yang mau menggoyang kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya, padahal kamilah orang-orang dekat dan keluarga beliau maka dia berada dalam kebatilan, berbuat dosa dan menceburkan diri ke dalam kebinasaan!”.

Salah satu orang dari kaum Anshar berkata, “Kalau begitu pertama-tama kita pilih seorang pemimpin dari Muhajirin, apabila ia wafat maka kita pilih pemimpin dari Anshar, apabila ia wafat maka kita pilih pemimpin dari Muhajirin lagi. Begitulah seterusnya”.

Umar dengan tegas menolak, “Tidak! Demi Allah, kalau ada seorang yang menyalahi pendapat kami (Khalifah dari Quraisy) maka akan kami perangi dia!”.

Suasana menjadi tegang. Sifat orang Arab tidak suka diancam apalagi kalau yang diancamnya itu seorang Ksatria. Habbab bin Mundzir berseru, “Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin!” Beliau ulang-ulang ucapan itu. Bahkan karena emosi, beliaupun kelepasan kalimat dengan mengatakan, “Jika kalian menginginkan kita bisa meneruskannya dengan peperangan!” Suasana menjadi genting. Para sahabat radhiallahu anhum sedang mendapatkan musibah yang besar berupa kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ditambah musibah berupa kebuntuan dalam musyawarah yang dapat menyulut emosi yang tidak terkendalikan dan dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan. 

Abu Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu tampil dan berbicara dengan bahasa hati, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang pertama-tama menolong dan mendukung Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka janganlah sekali-kali menjadi orang-orang yang pertama-tama mengganti dan merubah!”. Kata-kata Abu Ubaidah menembus jantung hati kaum Anshar, sangat berkesan dan mengingatkan mereka akan perjuangan membela dan menolong Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Menyadarkan mereka semuanya akan hakikat yang mengagumkan bahwa Allah menciptakan mereka untuk memberi, memberi dan memberi, tidak menerima sedikitpun. Bercucuran air mata kaum Anshar air mata kasih sayang dan air mata kedamaian. 

Basyir bin Sa’ad tokoh dari kaum Anshar dari suku Khazraj berkata dengan suara lantang, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya kami demi Allah meskipun memiliki jasa besar dalam memerangi kaum Musyrikin, dan merupakan pelopor dalam agama ini, tapi yang kami inginkan hanyalah keridhaan Allah Rabb kami. Yang kami inginkan hanyalah ketaatan kepada Nabi kami Shallallahu Alaihi Wasallam. Yang kami inginkan hanyalah bekerja keras untuk kemaslahatan kami. Oleh karena itu tidak pantas bagi kami untuk mengulur-ulur waktu, kami tidak menginginkan dunia, sesungguhnya Allah pemilik kenikmatan, Allah lah yang akan membalas jasa kami. Ketahuilah sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dari keturunan Quraisy, kaum beliau lebih pantas dan lebih berhak untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Saya tidak akan menggoyang kepemimpinan mereka selamanya dengan izin Allah. Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah! Janganlah kalian bertentangan dengan mereka dan janganlah kalian melawan mereka!”

Usaid bin Hudhair tokoh Anshar dari suku Aus berkata pula, “Kita ambil hikmahnya, bisa jadi jika kepemimpinan dari salah satu dari suku Aus atau Khazraj bisa menimbulkan iri salah satu dari keduanya dan bisa menimbulkan perselisihan dikalangan kami!”

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menambahkan argumentasinya untuk lebih menguatkan lagi, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menamakan kami (Muhajirin) Ash Shadiquun (orang- orang yang benar) dan menamakan kalian (Anshar) Al Muflihuun (orang-orang yang beruntung). Dan Allah memerintahkan kalian untuk mengikuti kami sebagaimana dalam firman Nya : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

 “Wahai orang-orang yang beriman, Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian berada bersama orang-orang yang benar” (QS. At Taubah ayat: 119)

(Kaum Muhajirin dikatakan sebagai Ash Shadiquun terdapat dalam surat Al Hasyr ayat 8 dan kaum Anshar dikatakan sebagai Al Muflihun terdapat dalam surat Al Hasyr ayat 9)

Kemudian Abu Bakar radhiallahu anhu juga membawakan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:

“Aku mewasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang Anshar, hendaknya kalian menerima orang yang berbuat baik dari mereka dan memaafkan yang berbuat salah dari mereka.”

Suasana semakin mencair, argumentasi Abu Bakar dan dua sahabatnya lebih kuat ditambah lagi dengan kebersihan hati dari kaum Anshar menjadikan suksesi kepemimpinan umat Islam paska kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berakhir dengan kesepakatan dan berakhir dengan damai.

Abu Bakar juga berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Engkau tahu wahai Sa’ad, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda dan engkau saat itu duduk, “Suku Quraisy pemimpin urusan ini, Orang yang baik akan ikut orang yang baik, dan orang yang jelek akan ikut orang jelek.” Sa’ad berkata, ‘Kau benar, kami adalah para pendukung (penolong) sedangkan kalian adalah para pemimpin.” (HR. Ahmad dari Hamid bin Abdurrahman bin Auf).

Abu Bakar Ash Shiddiq berkata, 

“Baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin Al Jarrah”. 

Melihat sikap Abu Bakar yang mengajukan dirinya, Umar bin Khathab pun berkata, “Tidak! Akan tetapi kamilah yang akan membaiatmu, karena engkau adalah pemimpin kami, sebaik-baik orang di antara kami, dan engkau lebih dicintai oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam”. 

Umar bin Khathab juga berkata kepada hadirin, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa Rasulullah telah menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat ketika beliau sakit? Maka siapakah di antara kalian yang berani mendahului Abu Bakar?”

Mereka menjawab, “Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan yang mendahului Abu Bakar.” 

Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dari Muhammad bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar, ‘Bentangkan tanganmu agar aku bisa membaiatmu.

Umar berkata kepadanya, ‘Engkau jauh lebih baik dariku!” Abu Bakar berkata, “Kau lebih kuat dariku!’

Umar menjawab, “Sesunggguhnya kekuatanku adalah untukmu bersama keutamaanmu.” 

Umar segera membaiat Abu Bakar, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya. Hari berikutnya terjadi lagi pembai’atan secara umum

Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah-nya berkata, az-Zuhri berkata kepada saya, Anas bin Malik berkata kepada saya, dia berkata: “Tatkala Abu Bakar dibaiat di Saqifah Bani Saidah, keesokan harinya Abu Bakar duduk di atas mimbar. Lalu Umar berpidato sebelum Abu Bakar. Dia memuji Allah dan menyatakan syukurnya. Lalu berkata, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan orang terbaik di antara kalian memangku jabatan khalifah. Dia adalah sahabat Rasulullah, orang yang menemaninya saat berada di dalam gua. Maka bangunlah kalian semua dan nyatakan baiat kepadanya.”

Kaum Muslimin pun membai’at Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

Segera Abu Bakar naik ke mimbar, dan dia melihat ke wajah hadirin, namun beliau tidak melihat Zubair bin Awwam. Beliau memerintahkan agar Zubair dipanggil lalu dia datang menemui panggilan Abu Bakar. Abu Bakar berkata, “Kau adalah anak bibi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan seorang hawarinya apakah kau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan kaum muslimin?”

Zubair menjawab, “Tidak wahai khalifah Rasulullah!” Lalu Zubair membaiat Abu Bakar.

Abu Bakar kembali melihat orang yang hadir, beliau juga tidak mendapatkan Ali di tengah mereka. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk memanggil Ali dan Ali pun datang memenuhi panggilan tersebut.

Abu Bakar berkata, “Kau adalah anak paman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau menikahkan engkau dengan anaknya, apakah kau akan mengoyak-ngoyak kesatuan kaum muslimin?”

Ali menjawab, “Tidak wahai khalifah Rasulullah! Dan Ali pun membaiatnya.”

Ali dan Zubair sempat tersinggung karena mereka berdua tidak diajak bermusyawarah untuk pemilihan Khalifah. Saat itu mereka berdua sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Tapi setelah mereka berdua diberitahu akhirnya mereka berdua memaklumi karena saat pemilihan khalifah berlangsung tanpa direncanakan oleh Abu Bakar maupun Umar. Pembaiatan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq terjadi secara spontan. 

Penulis banyak mendapatkan bahan tulisan untuk topik “Saqifah Bani Sa’idah” dari keterangan pakar Tarikh Dr. Raghib Sirjani dalam web site nya “islamstory.com“. 

Referensi lainnya dari buku:

Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu tulisan Dr. Ali Shalabi

Marwiyaatu Abi Mikhnaf

Al Khulafaur Rasyidin dari kitab Al Bidayah Wan Nihayah oleh Imam Ibnu Katsir 

dan lain-lain.