Penamaan istilah AhlusSunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan TabiutTabi’in.
‘Abdullah bin ‘AbbasRadhiyallahuanhuma [25] berkata ketika menafsirkan firman Allah AzzawaJalla:
يَوْمَتَبْيَضُّوُجُوهٌوَتَسْوَدُّوُجُوهٌۚفَأَمَّاالَّذِينَاسْوَدَّتْوُجُوهُهُمْأَكَفَرْتُمْبَعْدَإِيمَانِكُمْفَذُوقُواالْعَذَابَبِمَاكُنْتُمْتَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106]
“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah AhlusSunnahwalJama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah AhlulBid’ah dan sesat.”[26]
Kemudian istilah AhlusSunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهمالله, di antaranya:
1. Ayyubas-Sikhtiyanirahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari AhlusSunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”
2. Sufyanats-Tsauryrahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada AhlusSunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya AhlusSunnahwalJama’ah.”[27]
3. Fudhail bin ‘Iyadhrahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata AhlusSunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”
4. Abu ‘Ubaidal-Qasim bin Sallamrahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan[29] : “…Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut AhlusSunnah dari yang demikian…”
5. Imam Ahmad bin Hanbalrahimahullah [30] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhabahlul ‘ilmi, ash-haabulatsar dan AhlusSunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihiwasallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahuanhumg hingga pada masa sekarang ini…”
6. Imam Ibnu Jarirath-Thabarirahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “…Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa AhlusSunnahwalJama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam.”[31]
7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawirahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘AqiidatuthThahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah AhlusSunnahwalJama’ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazhAhlusSunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah AhlusSunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata AhlulBid’ah. Para ulama AhlusSunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah AhlusSunnah agar ummatfaham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan AhlulBid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah AhlusSunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[32]
Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada AhlusSunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:
1. Golongan Asy’ariyyahmenta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan AhlusSunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-anKalamullah, dan lainnya.
2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama AhlusSunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’irahimahullah ketika mencela ilmu kalam.
3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.[33]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah AhlusSunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul QadirJawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]