Ibnu Abbas mengatakan, “ antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ada 10 generasi, semuanya di atas tauhid.” Tidak ada kesyirikan, walaupun terdapat kemaksiatan, sebagaimana salah satunya adalah Qabil yang membunuh Habil.

Dalil-dalil tentang keesaan Allah ﷻ, dan tentang tauhid Allah ﷻ secara mencakup sangatlah banyak. Bahkan fithrah yang Allah ﷻ tanamkan dalam diri setiap manusia juga adalah fitrah tauhid, sehingga tidak akan ada satu pun makhluq Allah ﷻ kecuali akan mengesakan Allah ﷻ dari dalam hati mereka yang paling dalam.

Maka apa yang menyebabkan terjadinya kesyirikan? Salah satunya adalah melampaui batas dalam mengagungkan orang shalih. Pada tema ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dalil pertama

يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ إِنَّمَا ٱلْمَسِيحُ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلْقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (QS Annisa – 171).

Orang-orang Nasrani adalah orang-orang baik dahulunya karena Allah turunkan kepada mereka AlKitab, sehingga mereka dipanggil dengan nama yang baik oleh Allah dengan menisbatkan nama mereka kepada kitab suci tersebut.

Namun, pada konteks ayat ini Allah ﷻ melarang mereka dari perbuatan yang buruk yang mereka lakukan dan tidak sejalan dengan ajaran yang mereka terima dalam kitab suci yang Allah ﷻ turunkan kepada mereka. Perbuatan buruk itu adalah ghuluw dalam agama.

Ahlul kitab ada dua; Yahudi dan Nasrani. Adapun yahudi, ghuluw yang mereka lalkukan objeknya adalah Uzair, sedangkan orang-orang nashrani ghuluw terhadap Nabi Isa.

Orang-orang Nashrani terbagi menjadi 3 kelompok dalam ghuluw mereka terhadap Nabi Isa, dan Allah ﷻ telah menjawab dengan mengkafirkan mereka dalam alQuran.

Mereka yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Allah ﷻ.
Allah ﷻ bantah mereka dengan firmanNya dalam surat Al Maidah ayat 17,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ Dialah Al Masih bin Maryam (Nabi Isa)”.
Mereka yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah satu dari yang 3.
Allah ﷻ bantah mereka dengan firmanNya dalam surat Al Maidah ayat 73,
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَـهٍ إِلاَّ إِلَـهٌ وَاحِدٌ
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang mengatakan sesungguhnya Allah ﷻ adalah satu di antara tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain TUhan Yang Esa”.
Mereka yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah putra Allah ﷻ.
Allah ﷻ bantah mereka dengan firmanNya dalam surat Maryam ayat 88-89,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩)
Dan mereka berkata, “Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar.

Dalam kaitannya antara Allah ﷻ dan Nabi Isa, orang-orang Nashrani terbagi pula menjadi beberap madzhab, antara lain;
Nusturiyyah, mereka menganggap Isa terdiri atas 2 tabiat, tabiat Tuhan dan tabiat manusia. Jadi, Maryam melahirkan manusia bernama Isa, dan kemudian Allah ﷻ berhulul (menempati) dengan Nabi Isa sebagaimana air menempati gelas.
Ya’qubiyyah, mereka mengatakan Isa memiliki 1 tabiat, yaitu tabiat Tuhan dan sekaligus manusia. Bagi mereka Allah ﷻ bersatu dengan Nabi Isa sebagaimana susu bersatu dengan kopi, maka jadilah kopi susu, tidak dapat dipisahkan. Mereka menurut sejarah datang setelah Nusturiyyah. Catatan; kaum Nashrani sekarang lebih banyak mengikuti madzhab ini. Ibnu Taimiyyah dalam salah satu kesempatan mengatakan, “orang yang mengatakan bahwa Allah ﷻ menyatu dengan Nabi Isa dikafirkan oleh Allah ﷻ, bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa Allah ﷻ menyatu dengan alam semesta”.
Al muwahhidun, ahli tauhid dari kalangan Nashrani. Mereka meyakini Isa adalah Rasul sebagaimana keyakinan umat Islam, namun mereka tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Dalil Kedua

Dalam kitab Shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa’, yaghuts, ya’uq, dan nasr.” (QS. Nuh: 23)
Ia berkata, “Itu adalah nama laki-laki saleh dari kalangan kaum Nuh alaihis salam. Saat mereka wafat, maka setan membisikkan mereka untuk membuatkan patung-patung di majlis-majlis mereka (berkumpul) dan memberinya nama dengan nama-nama orang saleh itu. Mereka pun melakukannya, namun masih belum disembah, tetapi setelah mereka wafat dan ilmu (agama) dilupakan, maka patug-patung itu pun disembah.”
Ibnul Qayyim berkata, “Banyak dari kalangan kaum salaf berkata, “Saat orang-orang saleh itu meninggal dunia, maka mereka mendatangi kuburannya, membuat patungnya dengan rupa mereka, dan setelah berlalu waktu yang panjang, maka patung-patung itu pun disembah.”

Salah satu pelajaran dalam tafsir lengkap Ibnu Abbas terhadap ayat ini adalah bagaimana bersabarnya orang-orang yang menyembah berhala ldan mereka saling memberikan wasiat kesabaran satu sama lain dalam kesyirikan mereka dan agar tidak tergoda dengan dakwah Nabi Nuh yang menyuruh mereka meninggalkan tuhan-tuhan leluhur yang mereka sembah sedari dulu. Setan, orang-orang yang berdakwah ke jalan kesyirikan di dunia ini, orang-orang yang tidak taat kepada Allah ﷻ dan mendakwahkan kemaksiatan tersebut, adalah orang-orang yang bersabar di atas jalan keburukan yang mereka tempuh, maka ahlul haq (yang mendakwahkan tauhid dan ketaatan) adalah lebih utama untuk saling bersabar dan saling menasehati.

Nabi Muhammad ﷺ telah menerangkan kepada umatnya agar berhati-hati dalam masalah pengagungan kuburan, karena ini adalah kebiasaan orang-orang musyrik dahulu. Kesyirikan lebih sering berangkat dari pengagungan terhadap kuburan secara berlebihan. Bahkan Nabi ﷺ telah melarang umatnya dari semua wasilah yang membawa umat pada pengagungan dan penyembahan kuburan seperti meninggikan kuburan, menyemen kuburan, memberikan lampu pada kuburan, dan lain sebagainya.

Dalil ketiga

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah memuji Nabi dari dua sisi
Sisi sebagai Rasul.

Sisi sebagai hamba.
Allah ﷻ berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS Al Isra’ ayat 1.

Dalil keempat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ
“Jauhilah oleh kalian bersikap ghuluw, karena sikap ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

Nabi ﷺ mengambil kerikil-kerikil kecil untuk melempar jumrah, kemudian beliau berkata, “batu-batu semacam inilah yang kalian gunakan untuk melempar, jauhilah sikap ghuluw, karena sikap ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian”.

Ini adalah salah satu bentuk ibadah, dan kita dituntut untuk tidak berlebih-lebihan dalam aqidah, beribadah kepada Allah ﷻ, muamalat dan adat istiadat.

Dalil kelima

Dalam riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Binasalah orang-orang yang melampaui batas.”
Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Tanaththu’ adalah salah satu bentuk dari berlebih-lebihan, yang artinya adalah terlalu berdalam-dalam. Nabi ﷻ melarang seseorang terlalu takalluf sehingga keluar dari batasan. Sebagai contoh adalah orang-orang yang mendalam ketika membahas tentang Allah ﷻ, Dzat Allah ﷻ, sehingga pada akhirnya mereka banyak menolak sifat-sifat Allah ﷻ.

Ma’bad al Juhaniy, dikatakan bahwa dia dan pengikutnya berdalam-dalam ketika membahas ilmu, sehingga ilmu yang berlebih-lebihan tersebut membawa mereka ke dalam kesesatan dalam mengimani taqdir Allah ﷻ, analogi-analogi mendalam mereka memaksa mereka menolak taqdir Allah ﷻ.

Dalam bab sifat Allah ﷻ, terdapat orang-orang yang menolak sebagian ataupun semua dari sifat Dzatiyyah dan Fi’liyyah Allah ﷻ seperti orang-orang jahmiyyah, mu’tazilah dan asyairah. Juga terdapat orang-orang yang ghuluw dan mengatakan bahwa sifat Allah sama seperti sifat manusia, mereka adalah kaum musyabbihah. Dan ahlussunnah berada di tengah mereka semua dengan mengatakan bahwa sebagaimana Dzat Allah ﷻ tidak sama dengan Dzat manusia, maka seperti itu juga sifat-sifat Allah ﷻ berbeda dengan sifat manusia, dan mereka tidak menolak satupun sifat Allah ﷻ yang dikabarkan melalui wahyu.

Dalam bab taqdir, terdapat orang-orang yang menyatakan bahwa kehendak makhluq bebas dari kehendak Allah ﷻ, mereka adalah qadariyyah. Terdapat pula orang-orang yang ghuluw sehingga mengatakan bahwa manusia tidak memmiliki kehendak, bagai kapas yang diterbangkan angin, tidak bisa apa-apa, berjalan menurut kehendak angin tersebut, mereka adalah jabariyyah. Sedangkan ahlussunnah menetapkan kehendak bagi manusia, namun diatur dan dibawah kehendak Allah ﷻ.

Dalam bab pelaku dosa besar, terdapat orang-orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar imannya sempurna, mereka adalah murji’ah. Terdapat jug aorang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, mereka adalah khawarij, dan atau tidak beriman dan tidak pula kafir sebagaimana dikatakan oleh mu’’tazilah, dengan kesepakatan antara mu’tazilah dan khawarih bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka. Sedangkan ahlussunnah mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasiq.

Dalam bab kecintaan kepada Ahlul bait, terdapat orang-orang yang membenci ahlul bait, membenci Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya, mereka dalah Nawadhib. Terdapat pula orang-orang yang ghuluw yaitu kaum syi’ah, orang yang ekstrem diantara mereka mengatakan bahwa ahlul bait ma’shum dan pasti masuk surga, imam-imam mereka ma’shum sebagaimana Nabi ﷺ juga ma’shum, dan sangat membenci para shahabat Nabi ﷺ. Sedangkan ahlussunnah mencintai ahlul bait dan mencintai para shahabat Nabi ﷺ.

Dalam bab kehormatan Nabi ﷺ. Terdapat orang-orang yang merendahkan Nabi ﷺ seperti orang-orang islam liberal yang mengatakan bahwa syariah Nabi ﷺ adalah syariah untuk zaman beliau ﷺ saja, sekarang zaman sudah berubah, kita harus berijtihad untuk membuat hukum-hukum baru, membuang syariah Nabi ﷺ. Orang-orang sufi ekstrem mengatakan bahwa kedudukan keNabian adalah di bawah kewalian, mereka meyakini bahwa Wali adalah lebih hebat daripada Rasul dan Nabi, sehingga di antara mereka meyakini ada khatamul auliya’. Bahkan di antara mereka mengangkat derajat Nabi ﷺ sampai kepada derajat Tuhan, sebagaimana yang disyairkan oleh Bushiri. Ahlussunnah mengatakan bahwa Nabi adalah orang terbaik namun beliau bukanlah tuhan, wali derajatnya di bawah derajat Nabi.

Dalam bab karamah auliya’, terdapat orang yang mengatakan bahwa jika wali memiliki karamah maka wali seperti Nabi. terdapat juga orang-orang yang ghuluw dan mengatakan bahwa para wali itu dapat mencipta. Thariqah tijaniyyah dalam kitab mereka mengatakan bahwa Abdul Qadir al Jilani telah diberikan “Kun” oleh Allah ﷻ, bagi sebagian mereka wali majdzub (wali gila) lepas dari syariah, boleh berbuat apa saja, ini penghinaan dan perendahan terhadap orang shalaih dan agama islam. Adapun Ahlussunnah menetapkan adanya karamah dan tidak berlebihan.