Islam merupakan agama yang memerintahkan pemeluknya untuk beribadah hanya kepada Allah saja. Allah Subhana wa Ta`ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”(QS. Ad-Dzaariaat :56). Allah juga berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

dan tidaklah mereka (orang-orang musyrik dan ahli kitab) diperintah oleh Allah kecuali agar mereka menyembah Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya”.(QS. al-Bayyinah : 5). Inilah agama Islam yang diridhoi Allah dan satu-satunya agama yang diterima oleh Allah. Agama yang berlandaskan tauhid dan melarang pemeluknya berbuat syirik (menyekutukan Allah) dalam segala bentuk ibadah. Allah Ta`ala berfirman,

وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا

dan sembahlah Allah saja dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. an-Nisa :36).

• Keyakinan sial terhadap sesuatu dalam pandangan islam :
Keyakinan sial terhadap sesuatu di dalam islam dinamakan at tatoyyur. Contoh dari keyakinan sial terhadap sesuatu yang banyak diyakini oleh masyarakat seperti sialnya bulan safar, sialnya angka 13, dan kepercyaan-kepercayaan yang lain yang diyakini oleh banyak manusia.
Islam memandang at tatoyyur sebagai perbuatan syirk asgor (syirik kecil). Syirik merupakan dosa yang paling besar, bahkan pelakunya tidak diampuni oleh Allah apabila dia mati dalam keadaan tersebut dan belum sempat bertaubat kepada Allah. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang lain selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS. an-Nisa :48).
At thatayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung).
Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’. Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.” (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah (III/268-269) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi, cet. I-Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.)

Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H) rahimahullah : “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:

Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.
(Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/559-560))

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan).”
( Miftaah Daaris Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.

• Dalil-dali dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang Tathayyur/Thiyarah :

1. Allah Ta`ala berfirman :

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَذِهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَى وَمَن مَّعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. al-A’raaf: 131).

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam Tafsiirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rezeki, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’ Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya. Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”
(Tafsiir Ibni Jarir ath-Thabari (VI/30-31) telah diringkas)

2. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda :

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ ، وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّل

Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud . Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429).

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:

A. Jika menganggap bahwa yang mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.
B. Jika menganggap bahwa yang memberi manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk syirik ashgor.

3. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ ، فَقَدْ أَشْرَكَ ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ : اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’”
(HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).

4. Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاكَ شَىْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِى نَفْسِهِ فَلاَ يَصُدَّنَّكُمْ

Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu“. (HR. Muslim no. 537).

5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ عَدْوَى وَلاَ هَامَةَ وَلاَ نَوْءَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar”. (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).

Dalam hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang terkenal adalah beranggapan sial dengan bulan Suro, maka itu pun sama terlarangnya.

• Contoh-contoh Thiyarah (menganggap sial pada sesuatu) :

1. Menganggap anak sakit-sakitan karena nama yang terlalu berat diemban sehingga harus ada penggantian nama.
2. Mengganggap datangnya musibah itu karena si A yang baru datang ke kampung, sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebagaimana dahulu Fir’aun beranggapan datangnya bencana gara-gara Nabi Musa ‘alaihis salam.
3. Menganggap bulan Suro atau bulan Muharram adalah bulan keramat sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan atau acara besar lainnya.
4. Jika lewat di depan kuburan, selalu sial dan sering melihat hantu gentayangan.
5. Anggapan sial dengan angka 13.

• Obat penawar untuk menghilangkan Tathayyur :

Untuk menghilangkan persangkaan sial adalah dengan tawakkal. Karena tawakkal terdapat ketergantungan hati pada Allah. Hadits yang telah lewat disebutkan, “Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal”.
Syaikh Sholeh Al Fauzan berkata, “Penyembuh dari beranggapan sial adalah dengan bertawakkal pada Allah. Kemudian meninggalkan anggapan sial dan tidak memiliki keraguan lagi dalam hati.” (I’anatul Mustafid 2: 16 terbitan Muassasah Ar Risalah).

Penulis: Abdurahman Balfas Lc.