Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -1421H- rahimahullahu ta’ala berkata,
الوَاجِبُ عَلٰى ٱلإِنسَانِ أَن يُحْسِنَ ٱلظَّنَّ بِرَبِّهٖ، إِن دَعَاهُ أَحسَنَ ٱلظَّنَّ بِأَنَّهُ سَيُجِيبُهُ، وَإِن تَعْبُدُ لَهُ بِمُقتَضَى شَرْعِهٖ فَلْيُحْسِنِ ٱلْظَّنَّ بِأَنَّ اللهَ سَوْفَ يَقْبَلُ مِنْهُ، وَإِن وَقَعَتْ بِهٖ شِدَّةٌ فَلْيُحْسَنَ ٱلظَّنَّ بِأَنَّ اللهَ سَوْفَ يُزِيلُهَا، لِقَوْلِهٖﷺ،
“Semestinya bagi seorang hamba untuk berprasangka baik kepada Allah.
Ketika berdoa, ia berprasangka baik, bahwasanya Allah akan mengabulkan doanya.
Dan ketika beribadah kepada Allah -sesuai dengan syariat-Nya-, maka ia berprasangka baik bahwa Allah akan menerima ibadahnya.
Dan apabila tertimpa kesulitan, maka ia berprasangka baik bahwa Allah akan menghilangkan kesulitannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
” وَاعْلَمْ إِنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأََنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً “
“Dan ketahuilah bahwa pertolongan (Allah) itu datang dengan kesabaran, dan kelapangan itu datang setelah kesulitan, dan setelah kesulitan pasti ada kemudahan (jalan keluar)”
Sumber: Syarh Aqidah al-Wasithiyyah (jilid: 2/hal. 29)