* Apakah Diperbolehkan Membentuk Jama’ah Kedua Setelah Imam Selesai dari Shalat Berjama’ah ? *

Masjid itu tidak lepas dari 2 kondisi :

(1). Masjid yang terletak di pasar atau di tempat berlalu-lalangnya manusia. Maka masjid seperti ini diperbolehkan untuk melakukan sholat berjamaah berkali-kali tanpa dimakruhkan sesuai dengan kesepakatan para ulama.

(2). Masjid yang memiliki imam tetap. Maka di sinilah terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama (tentang hukum melakukan sholat jamaah berkali-kali dalam satu masjid).

Dan setelah diteliti lebih jauh, maka dapat dikatakan bahwa sholat jama’ah secara berkali-kali itu memiliki dua keadaan :

– KEADAAN PERTAMA –

[Pengulangan sholat jama’ah yang bukan menjadi kebiasaan] (maka boleh dua orang atau lebih membuat jama’ah berikutnya).

Dalil-dalil yang membolehkan :

[1]. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu

Ada seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat :

“Adakah seseorang yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya ?” (HR.Abu Dawud no.574, at-Tirmidzi no.220, Ahmad 3/5, 45 dan lainnya).

[2]. Perbuatan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

‎“Anas datang ke satu masjid yang telah selesai shalat, lalu beliau adzan dan iqamat serta shalat berjamaah” (Shahih Bukhari, kitab al-Adzaan, Bab Fadhlu Shalatil Jamaah, lihat Fathul Baary II / 131.)

[3]. Perbuatan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Dari Abu ‘Utsman, beliau berkata : “Anas bin Malik pernah mendatangi masjid Bani Tsa’labah. Lalu Anas berkata : “Apakah kalian sudah shalat ?” – dan pada waktu itu adalah sholat zhuhur – kami menjawab : “Sudah”. Lalu Anas berkata kepada seseorang : “Kumandangkanlah adzan”. Orang itu pun lalu adzan dan iqomah, kemudian Anas melaksanakan shalat  secara berjama’ah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/321, ‘Abdur Rozaq no.3417, Ibnul Mundzir 4/215, sanadnya shahih, lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/562).

[4]. Perbuatan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

Dari Salamah bin Kuhail, beliau mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah memasuki masjid dan shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan. Kemudian Ibnu Mas’ud melakukan shalat secara berjama’ah bersama ‘Alqomah, Al Aswad dan Masruq (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/323, Ibnul Mundzir (4/216), dan memiliki penguat dari ‘Abdur Rozaq no.2884, lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/562).

Tidak diketahui pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat Anas dan Ibnu Mas’ud ini. Jama’ah kedua tentu diperbolehkan karena shalat jama’ah tentu lebih utama dari shalat sendirian.

– KEADAAN KEDUA –

[Pengulangan jama’ah yang sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas]

Seperti adanya kesepakatan dari sekelompok jama’ah (yang punya madzhab tertentu) dengan membuat shalat jama’ah sendiri di pinggiran masjid atau pada waktu lain yang sudah ditentukan (yaitu tidak bergabung dengan jama’ah yang memiliki imam tetap). Tidak ada keraguan, bentuk kedua ini sudah pasti adalah sesuatu yang terlarang karena tidak pernah ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi-generasi awal yang terbaik dari ummat ini.

Bentuk semacam ini tidak diperbolehkan karena akan memecah-belah jama’ah kaum muslimin dan mengajak jama’ah untuk bermalas-malasan dengan berdalih menunggu jama’ah kedua, maka ia pun berlambat-lambat untuk datang (ke masjid).

Inilah yang dimaksud oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i ketika mereka berdua berkata makruh hukumnya melakukan jamaah secara berulang-ulang di satu masjid, wallahu a’lam.

(lihat Shohiih Fiqh Sunnah I/561-562 oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim).

Adapun dalil yang melarang untuk membentuk jama’ah kedua adalah :

(A). Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Rasulullah datang dari pinggiran Madinah ingin menunaikan shalat. Akan tetapi beliau mendapati orang-orang telah selesai shalat berjamaah. Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan mengimami mereka shalat”

(HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath no. 4601).

Sanggahan :

Hadits ini dijawab dengan 3 jawaban :

(1). Hadits ini masih diperselisihkan keabsahannya.

Hadits ini memiliki seorang perawi yang dicela para ulama, yaitu Muawiyah bin Abi Yahya. Sebagaimana disampaikan oleh Al Kasymiiriy : “Pada sanadnya ada Mu’awiyah bin Abi yahya. Beliau termasuk perawi yang disebut dalam At-Tahdziib dan beliau dipermasalahkan”

(2). Kalaupun dianggap shahih, maka hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya lalu shalat bersama mereka di rumah. Akan tetapi maknanya adalah beliau shalat bersama keluarganya di masjid. Kepulangan beliau ke rumah adalah untuk mengumpulkan keluarganya, bukan untuk shalat di dalam rumahnya. Sehingga jika demikian maknanya maka hadits ini justru merupakan dalil yang menganjurkan adanya shalat berjamaah di masjid yang sebelumnya telah dilakukan jamaah pertama (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi II/9)

Makna inilah yang harus dipahami, karena jika tidak maka akan bertentangan dengan sabda beliau :

“Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dilakukannya di rumahnya, kecuali shalat fardhu” (HR. Al-Bukhari no. 689)

Karena shalat yang sedang beliau lakukan itu adalah shalat wajib, sehingga tentu saja lebih utama mengerjakannya di masjid dibandingkan di rumah.

(3). Kalaupun dianggap beliau shalat berjamaahnya di rumah, maka ini adalah perbuatan beliau dan perbuatan beliau ini sama sekali tidak menunjukkan beliau melarang shalat berjamaah kedua di dalam masjid.

(B). “Shalat yang dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang dan ia mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar untuk menjumpai suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah mereka” (HR.Bukhari no.644 dan Muslim no.651, hadits dari Abu Hurairah)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat membakar orang yang tidak menghadiri jamaah pertama bersama beliau. Seandainya jamaah kedua dibolehkan, maka tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berniat membakar mereka.

Sanggahan :

Hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil dalam hal ini, karena sebagaimana yang nampak dari lahiriah hadits bahwa yang dimaksud akan dibakar di sini adalah orang munafik yang sengaja tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Daqiq Al-Id dalam Ihkam Al-Ahkam hal. 98-99, yaitu bahwa hadits ini berbicara mengenai orang-orang munafik.

Jadi, jika hadits ini hanya berlaku pada orang-orang munafik, maka kurang tepat jika hadits ini dijadikan dalil untuk membakar orang muslim yang sengaja tidak menghadiri shalat jamaah, dan lebih tidak tepat lagi jika dijadikan dalil untuk membakar rumah orang muslim yang sudah berusaha untuk menghadiri jamaah pertama namun akhirnya tidak dapat karena ada udzur.

(C). Atsar Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu : “Para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah sholat maka mereka sholat sendiri-sendiri” (Mushannaf Ibnu Abi SyaibahII/223)

Ini bukanlah dalil yang kuat dalam larangan ini, karena Anas bin Malik sendiri menjelaskan hal itu karena takut dengan penguasa (lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah II/322 dan Abdurrozaaq II/293 no.3422).

* Kesimpulan *

“Barangsiapa yang mendatangi masjid dan mendapati shalat jama’ah telah ditunaikan dengan imam rootib (imam tetap) atau selainnya, maka dia boleh menunaikan shalat jama’ah dengan orang-orang yang ketinggalan jama’ah (yang semisal dengannya) atau meminta orang lain yang sudah shalat untuk berjama’ah dengannya sebagai bentuk sedekah” (Fatwa Al-Lajnah Ad Daa-imah no.2583)

Wallahul Muwaffiq

Abu Muhammad Bakkar