Para pembaca yang dimuliakan Allah, kalimat tauhid la ilaha Illa Allah, kalimat tersebut dapat menjadikan seseorang yang sengsara menjadi seseorang yang beruntung, menjadikan orang yang mengatakan kalimat tersebut masuk surga, kalimat tersebut dapat menolong sesorang yang berlumuran dosa agar di ampunkan, ada apa dengan kalimat itu ? patut dalam diri seseorang menanyakan apa saja yang dimaksud dalam kalimat itu….
Sungguh tak bisa di pungkiri akan kelemahan kaum muslimin dalam tafsir kalimat tauhid ini, tidak sedikit dari kaum muslimin yang mengira bahwa kalimat tersebut sebatas mengetahui bahwa Allah ada Rabb semesta alam tidak yang lain, namun sebenarnya makna itu sangatlah kurang, karena makna kalimat tauhid Laa ilaha Illa Allah, mempunyai dua rukun :
1. Nafiy (menafikkan), yaitu menafikkan bahwa tiada tuhan. Diambil dari kalimat pertama Laa ilaaha (tiada tuhan).
2. Isbat (menetapkan) yaitu menetapkan bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang diambil dari kalimat kedua Illa Allah ( kecuali Allah).
Maka makna kalimat tauhid mencakup dua unsur, yang pertama berlepas diri dari tuhan Tuhan selain Allah, dan yang kedua meyakinkan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satunya Tuhan yang patut di ibadahi dengan benar. Dan dua rukun ini harus selalu ada dalam diri seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat.
Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُون إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, dan(aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku“. (QS. Az-Zukhruf 26-27).
Nabi ibrahim berlepas diri dari apa yang dikerjakan musyrikin (nafiy) dan mengatakan aku menyembah Tuhan yg menciptakanku (isbat). Dan ini adalah makna tauhid, berlepas diri dari apa yang kaum musyrikin kerjakan dan tuhan tuhannya, dan isbat atau menetapkan bahwa hanya Allah yang kita ibadahi.
Allah ta’ala berfirman,
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Isra:57).
Allah ta’ala mengabarkan bahwa para kaum musyrikin yang meminta kepada para malaikat, para nabi nabi, orang sholeh dan yang selainnya, dengan alasan bahwa sesembahannya itu hanya untuk perantara agar dapat mendekatkan diri kepada Allah saja tetap dinamakan itu sebagai syirik.
Karena apa yang mereka sembah dari jenis malaikat, nabi, dan orang soleh semuanya termasuk hamba ciptaan Allah, yang mereka sendiri butuh akan rahmat Allah dan takut akan azabNya, maka bagaimana mereka dapat dijadikan wasilah atau pemberi syafaat sedangkan mereka sendiri butuh akan itu semua?
Maka patutlah kita mengikuti para Nabi-Nabi dan orang orang sholeh yang menggantungkan harapannya kepada Allah saja tidak kepada yang lain, dan senantiasa berlepas diri dari ibadah ibadah kaum musyirikin.
Dikisah yang lain di riwayatkan pada suatu hari Rasulullah pernah membacakan kepada para sahabat sebuah ayat dalam surat At Taubah
Allah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka (yahudi dan nasrani) menjadikan orang-orang alimnya dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertaruhkan Al Masih putera Maryam padahal mereka disuruh menyembah Tuhan yang maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:31).
Selesai membaca ayat ini berkata seorang sahabat bernama Adiy bin Hatim, “wahai Rasulullah kami tidak beribadah kepadanya”, Rasulullah berkata, “bukankah mereka menghalalkan untuk kalian sesuatu yang Allah haramkan kemudian kalian mengikutinya? Dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian juga ikut mengharamkannya?”, Adiy berkata, “benar”. Rasulullah berkata, “maka itu adalah ibadah kalian kepada mereka”. (HR. Ahmad, Tirimdzi dan dihasankan olehnya).
Allah ta’ala mengabarkan bahwa yahudi dan nasrani telah menjadikan ulama serta ahli ibadah diantara mereka sebagai tuhan tuhan selain Allah, dengan mengambil perkataan mereka dalam mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan, dan menghalalkan sesuatu yang Allah telah haramkan. Karena perihal penghalalan dan pengharaman merupakan hak mutlak Allah Subhanah, Rabbul Haq.
Maka, apa yang mereka lakukan dengan mengambil perkataan ulama serta ahli ibadah mereka dalam menentukkan sesuatu halal atau haram, berarti juga telah menjadikan kedudukan mereka sama dengan kedudukan Allah, yaitu pembuat syariat.
Dan ayat ini menunjukkan bahwa termasuk dari konsekuensi kalimat Laa Ilaha Illa Allah adalah mengesakan Allah dalam perihal kehalalan dan ke haraman, maka wajib untuk muslim taat kepada Allah dengan mengharamkan segala sesuatu yang Allah haramkan, menghalalkan segala sesuatu yang Allah halalkan.
Dan dalam masalah ini ada dua gambaran:
1. Adanya seseorang yang memerintahkan utk mempercayai sesuatu yang halal menjadi haram atau sebaliknya seperti jika dikatakan Roti hukumnya haram, kemudian seseorang ikut mengharamkannya padahal ia mengetahui bahwa itu halal, maka ia jatuh kedalam syirik besar.
2. Adanya seseorang memerintahkan untuk melalukan sesuatu yang haram, seperti meminum alcohol, namun ia tidak meyakini akan kehalalannya, maka ini jatuh kepada maksiat besar bukan syirik besar.
Maka siapa saja yang menjadikan mahluk untuk di taati dalam perihal penghalalan atau pengharaman (pensyariatan) maka ia telah mengambil tuhan tuhan selain Allah.
wabillahi taufiq
Muhammad Halid Syar’i
Madinah, 20 February 2016
Refrensi:
1. Fathul Majid Sheikh Sulaiman Attamimi.
2. Mulakhas Syarh Kitab Tauhid Sheikh Shalih Al Fauzan.
3. Dr. Sholeh Sindi dalam kajiannya